Judul buku : Ushul Fiqh (Dialog Pemikiran Hukum Islam)
Pengarang : Syaiful Ilmi & Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag
Penerbit : STAIN Pontianak Press
Pengantar : Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag.
BAB 1
FILSAFAT HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Hukum
islam bersumber pada wahyu allah yang tertulis dalam Al-qur’an dan As-sunnah.
Namun, dengan seiring perkembangan dan kemajuan zaman, Al-qur’an dan As-sunnah
tidak dapat mengimbangi dikarenakan masalah dalam masyarakat semakin kompleks,
oleh karena itu di butuhkan orang-orang ahli hukum yang dapat memberikan
pemahaman dan tafsiran terhadap al-qur’an dan As-sunnah secara sistematis dan
logis agar dapat di terima masyarakat dan bisa di jadikan solusi dalam menghadapi
masalah tersebut.
B.
Filsafat Hukum Islam dan Ranh Filosofis
Filsafat
islam adalah jenis keilmuan baru, oleh karena itu di butuhkan pembahasan yang
mendalam dan seksama, bahkan para ahli hukum menemui kesulitan dalam menafsirkan
dan memberi pemahaman tentang ilmu filsafat islam agar dapat di terima
masyarakat luas.
Filsafat
Kata filsafat berasal dari Philoshopia, secara umum dapat di
artikan sebagai keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijaksanaan. Banyak
para ahli yang mencoba mendefinisikan
tentang filsafat. Naman, para ahli filsafat mengungkapkan definisi
tentang filsafat menggunakan gaya bahasa penulisan yang sangat sulit di pahami
dan tentu saja ini berpengaruh terhadap tujuan dan maksud dari pengertian
filsafat itu sendri.
Hukum Islam
Menurut Joseph Schacht hokum islam
adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah allah yang mengatur
perilaku kehidupan umat islam dalam segala aspeknya. Hukum islam terbentuk dari
pemikiran islam yang kemudian di wujudkan dengan perilaku keseharian umat
islam. Menurut Hasby hukum islam sangat identik dangan term fiqh, sebagaimana
beliau menyebutkan bahwa hukum islam merupakan koleksi daya upaya fuqoha’ dalam
menerapkn syari’at atas kebutuhan masyarakat, namun ada pembedaan antara term
fiqh dan syari’at.
Filsafat Hukum Islam
Secara umum filsafat hokum islam adalah
pemikiran ilmiah, sitematik dan dapat di pertanggungjawabkan. Muslehuddin
menyamakan antara filsafat hokum islam dengan syari’at atau ushul fiqh.
Pemikiran tentang hokum islam telah lahir sejak awal sejarah umat islam,
contohnya mengenai perdebatan antara golongan anshar dan muhajirin, tentang
siapa yang akan menjadi penerus perjuangan nabi Muhammad SAW, ini adalah bentuk
sederhananya. Pada dasarnya ada tiga masalah pokok upaya manusia untuk
memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu objek yang ingin diketahui (ontologis), cara
memperoleh pengetahuan (epistomologis), dan nilai yang di hasilkan ilmu
ppengetahuan tersebut bagi manusia (aksiologis).
BAB II
FILSAFAT HUKUM ISLAM
DAN HUBUNGANNYA DENGAN USHUL FIQH
A.
Pendahuluan
Fiqh identik dengan hokum islam, dimana
pedoman dari hokum islam adalah wahyu
allah dan sunnah rasul sedangkan pembahasan fiqh lebih mendetail yaitu bagan
terkecil dari syari’at.
B.
Filsafat Hukum Islam
Filsafat hokum islam adalah penerapan
ilmu filsafat pada hokum islam. Namun pada mulanya penerapan ini tidak memiliki
batasan atau aturan yang jelas.
C.
Urgensi Filsafat Hukum Islam
Pengkajian filsafat hokum islam sangat
di perlukan untuk menghadpi kemajuan dan perkembangan zaman, karna di dalam al-qur’an
dan as-sunnah butuh penafsiran dan pemahaman menggunakan akal agar dapat di
terima secara logis oleh masyarakat dan membuktikan bahwa hokum islam adalah
hokum terbaik sepanjang zaman.
D.
Hubungan filsafat hokum islam dengan ushul fiqh
Keterkaitan antara kedua ilmu di atas
ibarat kita sedang makan mi rebus, tentunya cara memakannya berbeda dengan nasi
padang, dimana nasi padang dapat di makan menggunakan tangan langsung, namun
sangat tidak lazim jika mi rebus dimakan menggunakan tangan langsung, tentu
dalam memakan mi rebus membutuhkan sendok dan garpu. Nah, di sini mi rebus yang
akan di makan sebagai hokum islam, sedok dan garpu sebagai filsafat hokum
islam, sedangkan tata caranya memakan mi rebus sebagai ushul fiqh. Atau lebih
tepatnya dalam mempelajari hokum islam melalui filsafat hokum islam di atur
atau di beri batasan oleh ushul fiqh.
BAB III
USHUL FIQH :
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA
A.
Pendahuluan
Pada waktu nabi masih hidup segala
persoalan para sahabat dapat di selesaikan dengan langsung bertanya pada
beliau, kemudian beliau langsung memberikan jawaban berupa ayat-ayat al-qur’an.
Namun dengan seiring meninggalnya nabi, setiap ada persoalan yang datang para
sahabat mencari jawabannya di al-qur’an dan as-sunnah, jika meraka tidak
menemukan secara harfiah maka mereka
menggunakan nalar dan logika untuk mencari solusinya, hal ini di namakan
berijtihad, yaitu mencari titik kesamaan dari persoalan yang terjadi dengan
segala sesuatu yang telah di tetapkan dalam al-qur’an dan hadits. Tentunya
usaha para sahabat ini di dasarkan dengan pertimbangan pada usaha “menjaga
kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hokum syara’.
B.
Pengertian ushul fiqh
Ushul fiqh adalah ilmu tentang aturan cara
atau usaha merumuskan hokum syara’ dari dalilnya yang terinci atau aturan yang
menjelaskan tentang cara-cara mengeluarkan hokum-hukum dari dalil-dalilnya.
Ushul fiqh merupakan pedoman bagi seorang faqih dalam usahanya mencari tahu dan
mengeluarkan hokum syar’i dari dalil-dalilnya.
C.
Urgensi ushul fiqh
Menurut Abdul Wahab Khollaf , tujuan
dari ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap
dalil-dalil terpeinci untuk mendatangkan
hokum syari’at islam yang di ambil dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan menurut Amir Syarifuddin tujuan yang hendak di capai
oleh ushul fiqh adalah untuk menerapakan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil
syara’ yang terinci agar sampai kepada hokum-hukum syara’ yang bersifat amali,
seperti yang ditunjuk oleh dalil-dalil tersebut. Namun, secara garis besar
tujuan ushul fiqh adalah agar hokum didalam dalil-dalil dapat dipahami isi
maupun maksud dari dalil-dalil tersebut agar tidak di salahartikan dan setiap
permasalahan yang datang di ketemukan solusinya dan dapat di terima secara
nalar maupun nurani.
D.
Pertumbahn dan perkembangan ushul fiqh
Perumusan fiqh sebernarnya sudah muncul
setelah wafatnya nabi, yaitu pada periode tabiin. Para sahabat-sahabat yang
mulai merumuskan lahirnya fiqh namun tidak secara sengaja diantaranya adalah
Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib. Sewaktu Ali menetapkan
hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, ia berkata : “ bila ia minum, ia akan mabuk. Ia akan
menuduh orang berzina secara tidak benar, maka kepadanya ia di berikan sanksi
tuduhan berbuat zina”. Dari pernyataan Ali tersebut akan di ketahui bahwa Ali menggunakan kaidah
menutup pintu kejahatan yang akan timbuk atau “sadd al-Dzari’ah”. Pada periode
sahabat ini lah perumusan hokum semakin meluas seiring dengan semakin
kompleksnya permasalahan yang datang kemudian beberapa ulama tabiin
mengeluarkan fatwa hokum untuk menjawab setiap masalah yang muncul,. Para
tabiin tersebut diantaranya adalah Said Al-musyayyab di Madinah dan Ibrahim
Al-Nakhai di Irak. Tentunya para ulama
ini sudah mengetahui secara baik dari ayat-ayat hokum dalam al-qur’an dan
mempunyai koleksi banyak hadits.
Ada banyak ulama yang merumuskan
fiqh dengan metode yang berbeda-beda misalnya Abu hanifah dan Imam malik.
Kemudian muncullah Imam Syafi’i sebagai ulama pertama yang mengkodifikasikan
kaidah-kaidah ini secara sistematis dan di beri syarah yang mendalam. Dalam
masa pengkodifikasian ini di tulislah kitab Ar-Risalah, dengan bekal sejuta
pengalaman dari Al-Maliki langsung dan dari Muhammad Hasan Syaibani (murid Abu
Hanifah) saat di Irak maupun dari pembelajaran yang ia peroleh dari perdebatan
yang sedang marak terjadi di dunia islam yang ia lihat.
E.
Kitab Ar-Risalah
Pada mulanya kitab ini di beri nama
kitabi (kitabku). Penamaan Ar-Risalah muncul ketika beliau mengirimkan kitab
tersebut kepada salah seorang pejabat dinasti Abbasiyyah yaitu Abdurahman bin Mahdi.
Kemudian kitab tersebut di tulis ulang oleh Imam Syafi’i dan menjadikannya sebagai
pengantar kitab fiqhnya, Al-umm adapun sistematika kita tersebut terbagi
menjadi beberapa hal-hal pokok :
1. Pengertian, ruang lingkup dan tujuan
ushul fiqh
2. Lafadz-lafadz yang digunakan syar’I dalam
Al-qur’an dan hadits sepert lafadz hakikat, majas, khas, umum, mutlaq,
muqqayad, mujmal, mufassior, muhkam, mutasyabihat, dan takwil
3. Masalah ijtihad, taklid, dan talfik
4. Metode yang di gunakan dalam berijtihad
seperti qiyas, istihsan, istislah, istishab, dan sad al-adziriyah
5. Cara-cara yang ditempuh untuk
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan.
Dasar
tersebut di jadikan pedoman oleh para ulama pengikut imam Syafi’I dan sebagian
ulama mencoba mengembangkan ushul fiqh yang telah di buat Imam Syafi’i dengan
cara mensyarahkan dan memperinci yang global sehingga kitab tersebut semakin
baik sistematikanya.
BAB
IV
AS-SUNNNAH
DAN AKTUALISASINYA DALAM HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Masa silih berganti namun perdebatan
seputar As-sunnah tiada henti. Dari dulu sudah ada golongan yang menolak secara
keseluran as-sunnah, mereka adalah Qur’aniyyun, dimana perbuatanya hanya mendasar
pada al-qur’an. Hal ini bahas oleh syafi’I dalam satu bab khusus di dalam
al-um, yang di beri judul “pembahasan tentang pendapat golongan yang menolak
khabar secara keseluruhan”. Secara umum topic yang selalu menjadi perdebatan
adalah seputar makna dan pemahaman terhadap as-sunnah, bagaimana menempatkan
dan cara-cara berinteraksi dengannya. Sebagai contoh, ada satu perbuatan yang
benar-benar pernah dilakukan oleh rasulaallah, satu pihak mengganggap perbuatan
tersebut adalah as-sunnah dan harus di ikuti, di lain pihak menganggap
perbuatan tersebut adalah bentuk aktualisasi rasulallah sebagai manusia.
B.
Makna As-Sunah
Pada masa-masa awal as-sunnah tidak di
tempatkan lebih tinggi dari sunnah orang-orang muslim terkemuka lainnya. Hal
ini terbukti dengan di temukannya kitab al-muwatta’ karya imam malik, dimana
isi kitab terebut becampur antara perkataan rasulallah dengan perkataan sahabat
yang di riwayatkan oleh para tabi’in. Begitu juga ketika imam malik menjadikan
praktik ahli madinah sebagai dalil hukumnya. Hal senada kita temukan ketika
qaul sahabat di jadikan hujjah.
Pemahaman seperti ini berlangsung hingga
kemunculan tesis as-syafii, yang mengatakan sunnah sejati adalah sunnah nabi.
Hal ini yang harus dipahami sebelum terjadinya perdebatan panjang yang menguras
tenaga, bahwa jangan sampai terjadi standar ganda dalam sebuah permbahasan
dalam permasalahan.
Satu hal yang harus di pahami adalah
pengertian dari as-sunnah dapat di ambil dari dua sisi, yaitu makna luas dan
makna sempit, dimana makna luas merupakan definisi pada awal islam, sedangkan
makna sempitnya adalah pemahaman dari para ahli ushul fiqh atau pemahaman para
fuqaha.
C.
Memposisikan as-sunnah
Menurut ajaran klasik al-qur’an adalah
wahyu yang matlu, sedangkan sunnah adalah wahyu yang ghair matlu. Dimana
perbedaan keduanya ada di bentuk bukan isi, Al-qur’an baik teks maupun maknanya
berasal dari allah dan dapat di jadikan pegangan karena memiliki kepastian yang
sempurna, sedangkan as-sunnah merupakann susunan katanya hanyalah pemikiran dan
hanya ke andalan maknanya saja yang terjmain.
Ada 3 fungsi sunnah dalam hubungannya
dengan al-qur’an yang disepakati para ulama, yaitu :
1. Sebagai pendukung hokum-hukum yang
disebutkan dalam al-qur’an
2. Menjadi penjelas hokum-hukum yang ada di
dalam al-qur’an, dalam memberikan batas-batas sesuatu yang mutlak, merinci yang
global atau mnetahksis keumuman al-qur’an
3. Memeberi hokum mengenai sesuatu yang
tidak di sebutkan dalam al-qur’an. Dalam hal ini sunnah mempunyai ototritas
penuh dalam menentukan hokum.
D.
Mengkategorikan as-sunnah
Banyak golongan yang mengkategorikan
sunnah rasulallah dengan berbagai paham, salah satunya adalah tasyri’, di mana
ada segolongan kaum muslimin yang mempunya paham bahwa segala sesuatu yang
bersumber pada rasulallah adalah sunnah.
Menurut sayyid ahmad khan secara tegas
membedakan sunnah rasulallah membagi menjadi 4 kategori, yaitu :
1. Yang berkaitan dengan agama (din)
2. Yang merupakan produk situasi khusus
nabi muhammad dan adat istiadat zamannya
3. Pilihan dan kebiasaan pribadi
4. Preseden yang berkaitan dengan urusan
pokotik dan sipil.
Baginya hanya sunnah autentik kategori
pertama yang dapat di klasifikasikan sebagai wahyu dan harus dilaksanakan. Ada
pun Mahmud syaltout yang melakukan pengkategorian lebih jelas lagi. Beliau
membagi dan membedakan sunnah menjadi tasyri’ dan bukan tasyri’. Ada juga abu
Zahra yang membagi sunnah rasul dengan bahasa yang lebih ringkas, dimana beliau
membagi sunnah menjadi 3, yaitu perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan
penjelasan masalah agama, perbuatan yang khusus bagi rasulallah, seperti
beristri lebih ddari 4 dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sifatnya
sebagai manusia biasa.
E.
Kritik sanat dan matan
Secara garis besar kritik sanat dan
matan adalah proses untuk mendapatkan sunnah rasul yang benar-benar autentik, berkualitas
dan dapat dipercaya yang disebut dengan hadits shahih. Dalam prosesnya para
ulama menerapkan kaidah-kaidah yang banyak dan ketat dalam penyeleksiannya, hal
tersebut di lakukan agar terlihat derajadnya dan hadits tersebut di kemudian
hari dapat di pertanggungjawabkan keshahihannya.
F.
Hadis di persimpangan
Maksud dari hadis di persimpangan adalah
bergeseknya dua pola pemikiran yang berbeda antara muhaddis dan fuqoha. Dimana
muhaddis mengambil hadits yang di temui untuk menambah koleksinya, sedangkan
fuqoha hanya mengambil hadits yang mempunyai nilai hokum. Hal ini menghasilkan
2 produk hokum yang berbeda.
BAB V
IJMA’ (‘AMAL AHL
AL-MADINAH) DAN TANTANGAN KONTEMPORER
A.
Pembahasan
Secara
garis besar ijma’ (‘amal ahl al-madinah) adalah hokum yang hanya beraku di
daerah asalnya yaitu madinah. Dimana hokum tersebut terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Ijma’ (hokum) umat.
2. Ijma’ (hokum) kumpulan dari pendapat
para ahli hukum
3. Ijma’ (hokum) kumpulan pendapat penguasa
politik yang bersifat kedaerahan (madinah)
Dalam
hal ini tentu saja ijma’ (‘amal ahl al-madinah) tidak menghadapi tantangan
kontemporer karena sifatnya yang kedaerahan, apalagi jaman sekarang umat islam
sudah terbagi dalam daerah dan Negara.
BAB
VI
QIYAS
PEMBATASAN METODE IJTIHAD PERSPEKTIF AS-SYAFI’I
A.
Pendahuluan
Al-qur’an
dan hadits adalah sumber utama dalam hokum islam. Namun, apabila ada masalah
yang datang tidak di temukan secara jelas solusinya di al-qur’an dan hadits
maka di perbolehkan mencari solusi dengan berijtihad atau qiyas. Dimana seorang
ulama mencari solusi dengan cara mencari celah persamaan, baik dari masalah dan
solusinya pada al-qur’an dan hadits.
Tradisi
menggunakan qiyas semakin meluas dan melebar dari masa tabi’in ke masa-masa
berikutnya, sehingga para mujtahid yang menggunakan qiyass secara mandiri
bertebaran di berbagai kota islam. Misalnya di kota Madinah, Makkah, Basrah,
Kufah, Syam, Mesir, Qairawan, Andalus, Yaman, dan Bahgdad. Namun di kota
iraklah paling menonjol dalam menggunakan qiyas. Para ulama seringkali
menggunakan qiyas secara liberal.
Pada
perkembangan qiyas di beri nama-nama tertentu, seperti al-qiyas, al-istilisan
dan al istishlah. Dan beberapa bentuk tersebut di gunakan oleh ulama ahl
al-ra’y dan ahl al-hadits.
Kemudian
muncullah as-syafi’I sebagai salah satu tokoh yang memiliki pandangan bertolak
belakang dengan tokoh lainnya, serta beliau termasuk salah satu tokoh ahl
al-hadits yang di pandang sebagai peletak dasar metode ijtihad secara
sistematis. Beliau membatasi penggunaan qiyas , yaitu di gunakan apabila
kondisi darurat saja.
B.
Setting Kehidupan as-syafi’i
1.
Biografi Singkat
As-syafi’I
memiliki nama lengkap Muhammad ibn idris
ibn al-abbas ibn ustman ibn syafi’I ibn saib ibn ‘ubaid ibn ‘abdi yazaq ibn
hasyim ibn al muthalib ibn ‘abd manaf. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, wilayah
asqalan (syam) pada tahun150 H/767 M. Ayahnya Idris ibn Abbas adalah keturunan
quraisy dari daerah tabalat, suatu desa di hijaz yang merantau ke asqalan dan
menetap disana sampai kemudian memiliki anak as-syafi’i. Namun, tidak lama
setelah itu Idris ibn abbas meninggal dunia ketika as-syafi’I masih dalam buaian
ibunya.
Perjalanan
as-syafi’I dalam mendlami hokum islam sangat lah panjang. Dimulai dari
menghapal qur’an ketika kecil di tengah keluarga ayahnya hingga beliau
berkelana ke pelosok-pelosok aerah demi mendalami pengetahuannya. Hingga pada
akhirnya beliau pergi ke mesir hingga akhir hayatnya, setelah sebelumnya beliau
pernah menjadi kepala daerah bagian najran. Namun, beliau di fitnah karna ada
pejabat menaruh dengki kepada beliau. Beliau meninggalkan seorang istri bernama
Hamidah binti Nai IBN ansabah ibn amr ibn utsman ibn affan yang ia nikahi
ketika beliau berada di makkah sebelum pergi ke yaman. Beliau juga meninggalkan
seorang putra dan dua orang putri.
2.
Kondisi social masa syafi’i
Pada
masa dinasti abbasiyyah ini lah ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, dimana
banyak buku filsafat yunani yang di terjemahkan kedalam bahasa arab, hal ini
membuat para ulama cenderung berfikir secara liberal. Dimasa ini setiap orang
memiliki kebebasan untuk berfikir dalam melakukan ijtihad, sehingga
perkembangan hokum islam pada masa ini
mencapai pada puncaknya, terlebih lagi dengan diberikannya kebebasan oleh
dinasty abbasiyaah.
3.
Respon as-syafi’I terhadap kondisi social pada
masanya
Reaksi
as-syafi’I dalam menyikapi keadaan social-kultural pada masanya secara apresiatif
, bahkan beliau sering berpergian kebebrapa wilayah islam untuk merasakannya.
Namun, beliau sangat menolak penggunaan metode ihtisan, menurutnya metode
tersebut menetapkan hukm secara liberal dan menimbulkan perbedaan pendapat di
kaangan ulama.
C.
Qiyas
Menurut
bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu lain untuk diketahui
adanya persamaan antara keduanya”.
Qiyas
adalah suatu kegiatan ijtihad yang tidak di tegaskan dalam al-qur’an dan
hadits. Qiyas di lakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis
dari rumusan hokum itu. Qiyas di anggap sah bila memenuhi beberapa rukun yang
telah di tetapkan dan di seakati para ulama ushul fiqh.
BAB VII
UMAR IBN AL-KHATTAB
IJTIHAD DAN MANHAJNYA
A.
Pendahuluan
Pada
setiap zaman di butuhkan seorang cendekiawan yang selalu bisa mencurahkan daya
pikirnya untuk menjawab permasalahan yang selalu timbul. Hal ini lah yang
mendasari orang-orang selalu menggunakan nalarnya untuk menjawab segala
pertanyaan yang solusinya tidak ada dalam al-qur’an dan hadits.
Salah
satu tokoh yang berpengaruh besar dalam hal ini adalah umar ibn
al-khattab. Banyak sekali penalaran atau
ijtihad yang dilakukan umar, sehingga menimbulkan banyak perdebatan antar
ulama.
B.
IJTIHAD-IJTIHAD UMAR DAN MANHAJNYA
1.
Ijtihad selayang pandang
Banyak
sekali para hli mengungkapkan pengertian tentang ijtihad, baik secara bahasa
maupun istilah. Namun secara garis besar ijtihad adalah mencurahkan segala
kemampuan nalar dalam menentukan hokum syaria’ah.
2.
Ijtihad-ijtihad umar
Ijtihad-ijtihad
umar sangatlah banyak dan beragam, dan di butuhkan banyak waktu untuk melacak
semua ijtihad yang pernah di keluarkan oleh umar, salah satu contoh ijtihad
umar, yaitu “mencegah pemberian zakat kepada mua’alaf” dan masih banyak lagi.
3.
Manhaj ijtihad umar
Metodologi
yang dilakukan oleh umar dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah dengan cara
bermusyawarah, tapi ada beberapa masalah umar langsung mengambil keputusan
tanpa bermusyawar terlebih dahulu. Di samping itu semua umar adalah orang yang
tidak segan-segan mencabut atau meralat perkataannya.
C.
Antara maslahat dan nash
Umar
tidak akan berijtihad jika ijtihadnya melanggar nash, tentunya tujuan umar
berijtihad adalah demi kemslahatan umat meskipun ada sebagian ulama yang
mengikari hal ini.
D.
Antara maslahat umar dan khusus
Maslahat
umar bersifat umum, tetapi umar selalu mencoba mesinergikan antara maslahat
umum dan khusus meskipun keduanya saling bertentangan. Akan tetapi umar selalu
mendahulukan kemaslahatan umum.
E.
Saddu adz-dzarai’ dan maslahat
Saddu
adz-dzarai’ adalah upaya mencegah kemungkinan terjadinya keburukan dengan
memotong jalan yang mengarah kepada keburukan dan melanggar aturan agama. Umar
pernah melakukan hal ini pada beberapa kejadian. Tentunya umar melakukan hal
tersebut demi kemaslahatan umat.
Tidak ada komentar